Pengamat energi tengah memperhatikan inisiatif pemerintah untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas mencapai 100 gigawatt (GW) untuk 80.000 Koperasi Desa. Inisiatif ini bertujuan untuk memberikan pasokan listrik yang lebih masif kepada masyarakat desa di Indonesia.
Dari perspektif tata kelola, rencana tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan penting yang perlu dijawab agar pelaksanaannya dapat berjalan lancar. Dwi Wulan Ramadani, seorang Policy Strategist, menekankan pentingnya adanya kerangka hukum yang jelas untuk mendukung kelangsungan proyek ini.
“Jika proyek PLTS 100 GW ini akan dioperasikan oleh Koperasi Desa, maka perlu ada kepastian tentang siapa yang bertanggung jawab dalam pembangunan, pengelolaan, serta pemeliharaan,” jelasnya dalam sebuah diskusi tentang kelayakan proyek ini.
Pentingnya Kerangka Hukum untuk Proyek Energi Terbarukan
Aspek hukum menjadi kunci dalam kelancaran operasional proyek energi besar seperti ini. Dwi menyoroti bahwa definisi yang jelas mengenai peran masing-masing pihak dalam koperasi sangat krusial. Ini termasuk tanggung jawab dalam operasional dan juga pemeliharaan fasilitas yang dibangun.
Tanpa adanya aturan yang spesifik, potensi risiko dalam pengelolaan proyek bisa meningkat. Hal ini harus dipertimbangkan dengan serius agar semua pihak memahami tanggung jawab dan hak mereka. Setiap koperasi harus dilengkapi dengan pengetahuan dan sistem yang mendukung dalam pengelolaan PLTS.
Kemudian, Dwi juga mengingatkan pentingnya mendefinisikan risiko-risiko yang mungkin muncul, yang dapat mencakup faktor finansial, teknis, dan juga operasional. Mempersiapkan mitigasi untuk risiko tersebut seharusnya menjadi bagian dari rencana awal proyek ini.
Kelayakan Finansial PLTS 100 GW untuk Koperasi Desa
Di sisi finansial, proyek ini dianggap cukup menantang. Dwi Wulan mengungkapkan bahwa biaya pembangunan satu megawatt PLTS diperkirakan antara Rp14 miliar hingga Rp15 miliar. Meskipun biaya tersebut cukup tinggi, potensi pendapatan dari penyediaan listrik bisa menjadi insentif bagi koperasi desa untuk ikut berpartisipasi.
Saat ini, kemampuan fiskal desa tambahnya, sangat terbatas karena Dana Desa yang tersedia hanya berkisar antara Rp600 juta hingga Rp1 miliar per desa. Dengan kondisi ini, pemerintah perlu merumuskan strategi untuk menyokong pembiayaan pembangunan PLTS.
Jika koperasi desa berupaya mendapatkan pinjaman dari lembaga perbankan, mereka harus mempertimbangkan plafon pinjaman yang maksimal hanya Rp3 miliar dengan tenor enam tahun. Ini jelas sangat jauh dari kebutuhan investasi untuk pembangunan PLTS yang memadai.
Peluang Pasar Energi dan Inovasi Baterai
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa proyek PLTS ini diharapkan dapat menciptakan peluang baru bagi sektor bisnis, terutama bagi produsen baterai listrik di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan untuk menyimpan energi yang dihasilkan selama siang hari agar bisa digunakan di malam hari.
Menurut Bahlil, meskipun PLTS hanya efektif menghasilkan energi selama sekitar empat jam setiap siang, penting untuk memiliki sistem penyimpanan yang efisien. Dengan meningkatnya kebutuhan energi, inovasi dalam teknologi baterai menjadi semakin relevan.
Pasar untuk sistem penyimpanan energi di Indonesia sangat besar dan terus berkembang, menjadikannya peluang bagi pengusaha lokal untuk masuk ke sektor yang menjanjikan ini. Ketika proyek seperti PLTS dilaksanakan dengan baik, hasilnya bisa bermanfaat besar bagi masyarakat dan ekonomi lokal.
Tantangan dalam Implementasi Proyek Energi Terbarukan
Implementasi proyek energi terbarukan seperti ini tidak terlepas dari beragam tantangan. Selain dari perspektif finansial dan hukum, ada juga tantangan sosial yang harus dihadapi. Masyarakat desa harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan agar memilki rasa kepemilikan terhadap proyek.
Pemberian pendidikan dan pelatihan kepada anggota koperasi desa tentang pengelolaan sistem energi menjadi sangat penting. Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan keterampilan mereka dalam mengelola PLTS ke depan.
Satu hal lagi yang menjadi perhatian adalah keberlanjutan proyek. Pemeliharaan fasilitas dan keberlanjutan operasional harus direncanakan agar proyek ini dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat desa di masa depan.




