Bank Indonesia (BI) baru-baru ini mengungkapkan faktor penyebab lambatnya penurunan suku bunga kredit dan deposito, meskipun suku bunga acuan telah mengalami pengurangan signifikan sepanjang tahun ini. Gubernur BI, Perry Warjiyo, memberikan penjelasan bahwa hingga Agustus 2025, suku bunga acuan telah ditekan hingga 125 basis poin menjadi 5%, namun respons dari sektor perbankan masih sangat minim.
Kondisi ini terlihat dari penurunan bunga deposito yang hanya mengerucut 16 basis poin dari 4,81% menjadi 4,65% pada akhir Agustus. Di sisi lain, suku bunga kredit hanya mengalami penurunan kecil, yaitu 7 basis poin dari 9,20% menjadi 9,13% dalam periode yang sama.
Faktor khusus yang mempengaruhi ini adalah pembiayaan dengan imbal hasil khusus untuk deposan besar, yang kini menyentuh 25% dari total dana pihak ketiga yang dimiliki bank. Hal ini menyebabkan perbankan menjadi enggan untuk memangkas suku bunga kredit mereka.
Alasan di Balik Perlunya Penurunan Suku Bunga Kredit
Perry menjelaskan bahwa kondisi saat ini mengakibatkan transmisi kebijakan moneter tidak berjalan dengan optimal. Padahal, penurunan suku bunga kredit sangat krusial untuk mendorong penyaluran pembiayaan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter yang lebih efektif penting untuk merangsang permintaan dalam perekonomian.
Jumlah dana pihak ketiga industri perbankan per Juli 2025 tercatat mencapai Rp 8.988,4 triliun. Dalam konteks ini, bank harus menanggung bunga tinggi untuk Rp 2.384 triliun dana yang diparkir, menambah tantangan bagi mereka untuk memberikan pemangkasan pada suku bunga kredit.
Implikasi dari ketidakfleksibelan ini bukan hanya berdampak pada bank, tetapi juga pada nasabah dan pelaku usaha yang membutuhkan biaya pinjaman yang lebih rendah untuk meningkatkan investasi dan konsumsi. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis perlu diambil untuk memastikan bahwa suku bunga dapat diturunkan segera.
Dampak Dana Pemerintah terhadap Penurunan Suku Bunga
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, optimis bahwa penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun di lima bank dapat mempercepat penurunan suku bunga. Dana tersebut disebar pada Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Syariah Indonesia (BSI) dalam bentuk deposito on call.
Menurut Purbaya, keberadaan dana besar tersebut akan mengakibatkan bank tidak perlu bersaing dalam menetapkan bunga, sehingga bunga diperkirakan akan cenderung menurun. Hal ini diharapkan berdampak positif bagi perekonomian dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk mendapatkan pinjaman dengan suku bunga yang lebih rendah.
Rincian penempatan dana tersebut menunjukkan alokasi yang signifikan, dengan masing-masing Rp 55 triliun untuk BRI, BNI, dan Mandiri, Rp 25 triliun untuk BTN, serta Rp 10 triliun untuk BSI. Dengan cara ini, pemerintah berharap dapat turut berkontribusi dalam menstabilkan sektor perbankan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.
Kendala dalam Penyaluran Kredit dan Pertumbuhan Ekonomi
Meski begitu, tantangan tetap ada. Bank-bank cenderung berhati-hati dalam menurunkan suku bunga kredit karena risiko kredit dan ketidakpastian ekonomi. Ketidakpastian ini sering kali membuat bank enggan untuk mengambil langkah besar yang dapat berisiko bagi kestabilan keuangan mereka.
Belum ada jaminan bahwa penurunan suku bunga deposito dan kredit ini akan segera bisa dilihat dengan nyata dalam perekonomian. Masyarakat dan pelaku usaha masih harus menunggu bagaimana respons bank terhadap kebijakan pemerintah dan langkah BI selanjutnya.
Penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa penurunan suku bunga bukan hanya berkaitan dengan kebijakan moneter, tetapi juga harus diiringi dengan perbaikan di sektor-sektor lain seperti investasi dan daya beli masyarakat. Keduanya harus saling mendukung untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.