Fenomena penjualan kendaraan dengan surat tanda nomor kendaraan (STNK) saja, terutama melalui media sosial, kini tengah menjadi perhatian utama dalam industri pembiayaan. Keberadaan praktik ini sangat merugikan perusahaan-perusahaan multifinance dan menciptakan gelombang keresahan di antara pelaku industri.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno Siahaan, mengungkapkan bahwa pelaku usaha jasa keuangan dihadapkan pada tantangan berat. Penurunan daya beli masyarakat menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi angka penjualan kendaraan, baik roda dua maupun roda empat.
Ia menjelaskan, maraknya penjualan kendaraan dengan mengandalkan STNK saja di berbagai platform digital, seperti Facebook, Instagram, dan TikTok, semakin memperburuk situasi. Aktivitas ini terang-terangan merusak pasar yang ada dan menciptakan kesulitan bagi banyak pihak yang beroperasi secara legal.
Menelisik Praktik Penjualan STNK Only di Media Sosial
Praktik menjual kendaraan dengan STNK only, di mana kendaraan hanya disertai dengan STNK sedangkan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) masih berada di leasing atau perusahaan pembiayaan, semakin menjadi-jadi. Menurut Suwandi, kegiatan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.
Suwandi menambahkan, kepemilikan yang sah atas kendaraan tidak hanya ditunjukkan dengan STNK, melainkan juga tergantung pada keberadaan BPKB. Kondisi ini memberikan ruang bagi permasalahan hukum dan perselisihan antara pembeli dan penjual di masa mendatang.
Di media sosial, banyak komunitas yang bermunculan untuk membahas dan memperdagangkan kendaraan tanpa kepemilikan yang sah ini. Hal ini mengundang perhatian publik, namun di sisi lain, keberadaan mereka berpotensi mengganggu keseimbangan industri.
Dampak Negatif bagi Konsumen dan Perusahaan Pembiayaan
Praktik ini dapat merugikan konsumen itu sendiri. Suwandi berpendapat bahwa debitur yang menghadapi kesulitan dalam pembayaran seharusnya mencari jalur komunikasi untuk melakukan restrukturisasi kredit. Bergabung dalam komunitas yang ilegal hanya akan memperburuk keadaan.
Akibat dari praktik STNK only, perusahaan pembiayaan semakin ketat dalam menyetujui permohonan kredit kendaraan. Jika sebelumnya, dari sepuluh aplikasi, tujuh hingga delapan bisa disetujui, kini hanya empat aplikasi yang dapat melewati tahap persetujuan.
Suwandi menegaskan, keadaan tersebut bukan hanya membawa kerugian bagi perusahaan pembiayaan, tetapi juga bagi konsumen yang ingin memiliki kendaraan secara sah. Langkah preventif perlu diambil untuk meminimalkan dampak negatif dari praktik ini.
Tindakan Pemerintah dan Langkah yang Perlu Ditempuh
APPI telah mengajukan surat kepada beberapa lembaga pemerintah, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam surat tersebut, APPI menyampaikan keresahan yang dirasakan industri akibat praktik ilegal ini.
Dalam upayanya, APPI berharap agar lembaga terkait dapat mengambil tindakan cepat untuk menindak komunitas yang terlibat dalam perdagangan kendaraan STNK only. Tindakan tegas dianggap krusial untuk menjaga kelangsungan industri serta memberikan edukasi kepada konsumen.
Pemerintah diharapkan dapat membantu menanggulangi masalah ini dengan cara menutup akses terhadap kelompok yang terlibat dalam praktik ilegal tersebut. Dengan demikian, lingkungan industri pembiayaan kendaraan dapat dijaga agar tetap aman dan sehat.




