Jakarta, ekonomi Asia saat ini berada di persimpangan yang krusial. Berbagai tantangan yang dihadapi, terutama dari kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat, diperkirakan akan memengaruhi ketahanan wilayah ini secara signifikan.
Krishna Srinivasan, Direktur Departemen Asia dan Pasifik dari lembaga keuangan internasional terkemuka, baru-baru ini memberikan peringatan bahwa lonjakan dolar dan kenaikan suku bunga memiliki potensi merubah kondisi ekonomi yang ada. Jika Federal Reserve AS melanjutkan kebijakan penurunan suku bunga, hal ini bisa memberikan peluang bagi negara-negara Asia untuk melonggarkan kebijakan moneter mereka.
Dalam pandangannya, suku bunga yang tetap rendah dapat menjadi dukungan bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan Asia untuk meminjam dengan biaya yang lebih terjangkau. Namun, ada potensi risiko yang perlu diwaspadai jika kondisi keuangan ini berubah secara mendadak.
Pertumbuhan Ekonomi Asia yang Terancam di Tahun Depan
Dalam laporan terbaru mengenai perkiraan ekonomi global, diprediksi ekonomi Asia akan tumbuh sebesar 4,5% pada tahun 2025. Meskipun terlihat positif, ini sebenarnya menunjukkan perlambatan dibandingkan dengan 4,6% pada tahun sebelumnya.
Meningkatnya ekspor, yang sebagian besar didorong oleh kebutuhan barang menjelang implementasi tarif yang lebih tinggi dari AS, telah menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ini. Namun, peringatan dari lembaga internasional tersebut juga menekankan bahwa risiko pertumbuhan cenderung menurun seiring waktu.
Proyeksi jangka panjang menunjukkan bahwa pertumbuhan bisa melambat menjadi 4,1% pada tahun 2026. Hal ini jelas menunjukkan bahwa meskipun ada harapan, tantangan-tantangan baru mungkin akan muncul.
Inflasi dan Kebijakan Moneter di Asia
Dalam konteks inflasi, lembaga keuangan ini mencatat bahwa inflasi di Asia relatif lebih moderat dibandingkan dengan wilayah lain. Kebangkitan permintaan pascapandemi dan fluktuasi harga bahan mentah akibat konflik tertentu, seperti perang Rusia-Ukraina, belum sepenuhnya menghancurkan kestabilan harga di kawasan ini.
Keberhasilan bank sentral Asia dalam mengendalikan ekspektasi inflasi tentunya menjadi salah satu indikator positif. Hal ini menunjukkan adanya kepercayaan publik terhadap kemampuan bank sentral untuk bertindak independen dari intervensi pemerintah.
Srinivasan menegaskan pentingnya independensi bank sentral untuk mencapai tujuan jangka panjang, terutama dalam menjaga stabilitas harga. Meski demikian, dia juga menekankan bahwa bank sentral harus selalu bertanggung jawab kepada publik.
Risiko Perubahan Kondisi Keuangan yang Mendadak
Srinivasan lebih lanjut mengingatkan bahwa kondisi-kondisi keuangan yang saat ini memberikan manfaat, bisa berubah dengan cepat. Kenaikan suku bunga, khususnya suku bunga jangka panjang, berpotensi memicu dampak yang cukup signifikan.
Dengan tingginya biaya pembayaran utang yang menjadi tanggung jawab negara-negara Asia, maka perubahan ini bisa menjadi masalah besar. Dolar yang menguat juga akan memberikan tekanan lebih besar lagi kepada ekonomi negara-negara di kawasan ini.
Peringatan mengenai risiko yang mungkin dihadapi Asia menggarisbawahi betapa pentingnya untuk terus beradaptasi dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan skenario terburuk. Hal ini akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi para pengambil kebijakan di tingkat regional.




